Bp. Hadi utomo setia merawat bahasa tegal
http://tegalinfo.blogspot.com/2012/06/bp-hadi-utomo-setia-merawat-bahasa.html
Kompas/ siwi nurbiajanti |
TegalMedia.Com-Kesadaran bahwa bahasa Tegal memiliki peranan penting dan demi
menjaga agar bahasa ini tidak punah menjadi penyemangat bagi Hadi Utomo
untuk tetap setia merawat bahasa Tegal. Selama lebih dari 10 tahun dia
mengumpulkan satu per satu kosakata bahasa Tegal, lalu menyusunnya
menjadi kamus bahasa Tegal-Indonesia.
Meskipun kamus tersebut
belum dipasarkan secara terbuka, kehadiran kamus itu sangat berharga,
terutama bagi kaum muda Tegal. Kamus bahasa Tegal-Indonesia tersebut
dinilai penting agar warga Tegal dan sekitarnya tidak kehilangan bahasa
ibu. Dalam kamus itu, terdapat sekitar 5.000 kosakata yang sudah
diterjemahkan Hadi Utomo.
Pria yang lahir di Kabupaten Batang,
Jawa Tengah, ini mulai menetap di Tegal tahun 1980. Sekarang dia tinggal
di Desa Tembok Luwung, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa
Tengah.
Setelah menyelesaikan pendidikan SD dan SMP di Brebes
tahun 1954, Hadi melanjutkan pendidikan di SMA B Pekalongan hingga tahun
1957. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi
Publisistik di Jakarta, tetapi tidak tamat.
Saat di Jakarta, Hadi
pernah bekerja di salah satu surat kabar. Dia juga menulis untuk
sejumlah media cetak hingga tahun 1968. Selanjutnya, Hadi pindah ke
Cirebon dan memilih menjadi petani sampai tahun 1980. Baru setelah itu,
ia memutuskan pindah ke Tegal dan bekerja mengelola sejumlah radio.
Hingga
kini Hadi masih aktif menjadi penanggung jawab siaran dan berita pada
Radio Gemilang di Kabupaten Brebes. Setiap Sabtu sore dia membawakan
siaran berbahasa Tegal di radio tersebut dalam acara ”Medang Sore”
(minum pada sore hari).
Mengelola radio
Hadi
mulai tergelitik merawat bahasa Tegal mulai tahun tahun 1990. Sebagai
pengelola radio, ia sering mendapati penggunaan bahasa Tegal sebagai
materi siaran, materi promosi, dan materi iklan sejumlah perusahaan.
Bahkan,
sebagian besar perusahaan memutuskan menggunakan jingle berbahasa
Tegal untuk iklan mereka di radio. Bahasa Tegal juga menjadi slogan di
beberapa daerah, seperti ”Tegal Keminclong Moncer Kotane”, yang menjadi
slogan Kota Tegal.
Hadi pun sering diminta membuatkan jingle
untuk iklan perusahaan di radio. Sampai sekarang ia melihat hampir 75
persen perusahaan yang memasarkan produknya di Tegal menggunakan jingle
berbahasa Tegal untuk iklan mereka di radio. Jumlah jingle berbahasa
Tegal yang sudah diciptakan Hadi pun mencapai lebih dari 100.
Melihat
kondisi tersebut, Hadi menyadari bahwa bahasa Tegal memiliki peranan
penting. Iklan yang menggunakan bahasa Tegal dirasakan lebih mengena
dalam masyarakat sehingga pemasaran produknya juga lebih mudah.
”Bahasa Tegal itu penting sebagai sarana komunikasi, ekspresi, dan budaya,” kata Hadi.
Karena
itu, ia kemudian tergerak membuat kamus bahasa Tegal guna merawat
keberadaan bahasa tersebut. Ia sengaja menggunakan istilah merawat,
bukan melestarikan. Alasannya, dengan istilah melestarikan, itu berarti
ada tanggung jawab bahwa bahasa tersebut tidak mungkin punah.
Padahal,
menurut Hadi, suatu bahasa bisa punah karena pemakainya semakin
sedikit. ”Jadi, bahasa itu perlu dirawat untuk menunda kepunahan,”
ujarnya.
Kamus bahasa Tegal ia susun sedikit demi sedikit selama
bertahun-tahun di antara kesibukannya sebagai pengelola radio. Setiap
kata berbahasa Tegal yang ditemukan dan muncul dalam kehidupan
sehari-hari ia catat, lalu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Selain
5.000 kosakata yang sudah tersusun dalam kamus, Hadi masih memiliki
ratusan kata lain yang belum ia bukukan. Kamus yang dibuatnya itu
mendapat penghargaan sebagai Karya Terbaik Masyarakat dari Pemerintah
Kabupaten Tegal tahun 2009.
Selain kata-kata, ia juga menemukan
beberapa ajaran berbahasa Tegal yang mengajarkan kearifan lokal
masyarakat setempat. Seperti ungkapan aja onggrongan yang berarti jangan
melakukan sesuatu sekadar untuk mendapat pujian, aja gagahan yang
berarti jangan sok gagah atau sok berkuasa, serta aja kadiran yang
berarti jangan mentang-mentang.
Kantong budaya
Hadi
menolak anggapan bahwa bahasa Tegal kasar dan tak mengenal unggah
ungguh (tata krama). Bahasa Tegal memang berbeda dengan bahasa Jawa yang
banyak digunakan di wilayah Yogyakarta dan Solo karena Tegal lokasinya
jauh dari pusat budaya keraton.
Sementara bahasa Jawa halus yang
berlaku di wilayah Yogyakarta, Solo, dan sekitarnya, katanya,
merupakan bahasa yang diciptakan dalam sistem budaya Mataram untuk
menghormati raja-raja. ”Tegal merupakan kantong (budaya) sendiri,”
tutur Hadi.
Karena kondisi itu pula, bahasa Tegal cenderung
tumbuh liar dan berkembang apa adanya di masyarakat. Bahkan, karena
keliarannya, masyarakat Tegal banyak yang membuat bahasa sendiri untuk
percakapan sehari-hari.
Dalam bahasa Tegal pun, kemudian muncul
banyak padanan kata untuk satu arti, seperti kata rada, mandan, manda,
dan semanda, yang semuanya berarti agak.
Bahasa Tegal juga lebih
bersifat egaliter dan demokratis. Bahasa Tegal tidak mengenal struktur
penggunaan bahasa, seperti halnya dalam bahasa Jawa, yaitu krama
inggil, krama madya, dan ngoko.
Dalam bahasa Tegal hanya dikenal
bahasa ngoko dan bebasan, yaitu bahasa yang digunakan saat berbicara
dengan orang yang lebih tua atau orang yang dihormati. Seperti kata
kowen (kamu) yang kemudian diganti menjadi kata rika atau sampeyan, dan
kata durung (belum) yang berubah menjadi dereng.
Oleh karena
itu, di tengah upayanya merawat bahasa Tegal, Hadi berharap ada lembaga
resmi yang mau dan mampu menangani perkembangan bahasa Tegal.
Keberadaan lembaga tersebut untuk menjinakkan keliaran bahasa Tegal
sehingga memunculkan pembakuan dalam bahasa tersebut.
Dengan
adanya pembakuan, bahasa Tegal bisa dimasukkan dalam kurikulum sekolah
sehingga bisa dijadikan sebagai mata pelajaran bagi anak didik di Tegal.
Selama
ini pelajaran bahasa daerah yang diterima anak sekolah di Tegal
merupakan bahasa Jawa yang biasa digunakan di wilayah Yogyakarta dan
Solo.
Hal itu justru membingungkan siswa karena bahasa yang mereka pelajari tak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sumber : Kompas Cetak